Dearest_Mom and Dad (2009) |
Setahun yang lalu aku masih merasakan hangatnya suara Papa, setahun lalu aku masih bisa bermanja ria dengan beliau. Tapi kini, semua terasa hilang...
Ya, kurang dari dua tahun lalu Papa baru saja mendapatkan surat dinas dari kantornya yang telah berpuluh-puluh tahun menjadi tempatnya mencari nafkah. Papa ditugaskan untuk pindah dan menjadi salah satu staf dikantor pusat di Lampung. Bukannya kami tidak senang dengan kabar itu, tapi justru itu kepindahan itu yang membuat kami khawatir. Karena dengan begitu, itu artinya Papa harus menetap di Lampung sedangkan Mama dan adik ku harus berada di Palembang. Ada kekhawatiran tersendiri dengan semua itu. Mama harus pintar-pintar mengatur keuangan, karena mulai saat itu Mama harus membagi pemasukan ke tiga pos. Ya membaginya untuk ku yang sekarang di kota hujan, Papa dan untuk Mama sendiri di rumah.
Belum genap setahun Papa di kantornya yang baru, tapi sudah mampu mengubah warna kulitnya. Beliau makin terlihat hitam, kurus dan keriput di sudut mata dan tangannya semakin terlihat. Saat aku bertanya padanya apakah Papa senang di kantor yang baru? Beliau menjawab senang, namun Papa merasa lelah, lelah karena harus keluar masuk perkebunan baru, mengawasi pembukaan kebun baru.
Dan karena kewajiban barunya tersebut. Setahun lalu.. beliau difonis menderita Malaria Tropika, suatu penyakit yang menyerang kekebalan tubuh dan sistem saraf otak belakangnya. Sakit rasanya, saat aku anak pertama di keluarga tidak mengetahui hal ini. Aku yang sekarang berada di kota hujan tidak mengetahui hal ini. Mama dan keluarga besar kami merahasiakannya dari ku. Tapi sebuah firasat tak enak mengganjalku saat itu, aku menelfon Papa namun tak ada jawaban, akupun berusaha menghubungi Mama dan rumah namun nihil! Akirnya belakangan aku tau bahwa Papa sedang dirawat karena sakitnya itu.
Ingin sekali aku pulang, tapi study ku pun harus aku selesaikan, sedangkan libur masih lama. Tiap kali aku menelfon beliau, beliau seperti meracau! Bicara tak jelas dan aku sendiripun tak mengerti apa yang beliau bicarakan. Dilema, ingin pulang untuk menjenguk Papa atau menunggu libur?? Akupun mendesak Mama untuk pulang.
Miris hati melihat Papa, badannya yang dulu tegap, kokoh dan kuat. Kini lemah kurus tak berdaya. Melihat bermacam-macam jenis obat yang harus beliau makan makin membuat ku tersiksa. Semua berubah.. tak ada lagi Papa yang enteng tangan siap membantu tetangga dan selalu ada untuk ku dan adik ku. Tak ada lagi Papa yang tegas dan ramah dengan senyumannya.
Sekarang Papa hanya bisa duduk, melamun seolah linglung dan bingun dengan semua. Saat aku bertanya padanya, “Pa.. Papa bengong mikirin apa?”, dengan air muka bingung Papa menatapku dan menjawab “Papa itu mikirin Ayuk, ngapain Ayuk* pulang? Kuliah Ayuk gimana?”. Aku menahan diri agar buliran air mata tak jatuh dihadapnnya saat mendengar beliau mengatakan hal itu.
Papa selalu menyuruhku agar pulang dan masuk kuliah lagi, tapi aku masih ingin disisinya. Merawat nya, menyiapkan makan utuknnya, menyiapkan obat dan memastikan bahwa obat tersebut Papa minum. Sungguh, semua terasa berubah.. berbeda dari tahun-tahun lalu. Rumah yang tadinya hangat, penuh canda dan guyonan Papa kini seolah menjadi rumah yang sendu. Papa menjadi tempramen terkadang manja. Namun dengan kemanjaannya itu seakan membuat rumah ini penuh dengan emosi. Bagaimana tidak, jika Papa mandipun harus disuruh berulang-ulang kali baru ia akan mandi. Begitupun dengan makan, apalagi sholat.
Ini yang membuatku makin merasa sedih. Jika dulu beliaulah yang selalu tegas pada kami untuk sholat, membangunkan kami subuh dan menyuruh adik ku yang saat itu masih SD untuk jumatan bersama beliau. Tapi kini, jangankan untuk menjadi imam buat kami, ia sholat pun seperti lupa. Demi tuhan, aku sempat emosi saat itu. Ketika adik ku mengajak beliau untuk jumatan dan akupun membujuknya untuk ke masjid, tapi Papa hanya terkulai malas menggulung badanya di kasur dan malah menutupi telinganya dengan bantal, saat adik ku menangis untuk mengajaknya sholat.
Dua minggu dirumah terasa sangat cepat, ingin sekali aku berlama-lama di rumah merawat nya hingga ia benar-benar sembuh tapi aku tak mungkin meninggalkan kuliah ku lama-lama. Dengan berat hati akupun kembali ke kota hujan dengan linangan air mata. Sempat aku menatap Papa saat itu dan bilang “cepet sembuh pa, juli tahun depan Ayuk wisuda”. Namun Papa hanya diam dan menatap kosong kedepan, entah apa yang beliau lihat.
Yaa... kini, bulan ini Maret 2011 tepat setahun lalu Papa difonis Malaria Tropika. Tiap hari aku selalu mengiriminya pesan singkat untuk mengingatkannya makan obat dan sholat.
Pa.. Juli ini Ayuk wisuda. Papa cepat sembuh.. Bisa hadir di hari yang bersejarah itu. Ayuk kangen dengan Papa, Ayuk rindu sosok Papa yang dulu... Lekas sembuh pa.. Selalu ada doa untuk mu disetiap sujud terakhir sholat Ayuk dan selalu ada cinta kasih untuk Papa. Love u pa..
*panggilan untuk anak perempuan pertama di kota Palembang.
GOOD POST !
BalasHapussangat kreatif dan inspiratif . lanjutkan terus ya dan jangan lupa mampir ke http://catatan-yuki.blogspot.com/