Lima tahun silam aku bertemu dengannya dalam sebuah organisasi yang mampu membuat aku berjaya di Sekolah Menengah Atas. Dia seniorku di Latihan Kepemimpinan Siswa (LKS) tingkat Kabupaten, dan aku pun bergabung di dalamnya sebagai wakil dari sekolahku. Tak terbersit dalam benakku kalau aku akan mengalami semua ini bersamanya.
Aku dan dia hanya dekat sebatas antara senior dan junior, tiap kali organisasiku mengadakan perkumpulan aku selalu dijemput dengannya, dan diapun aku anggap sebagai abangku sendiri karena aku memang tidak punya abang. Aku panggil dia Kak Pani. Usinya hanya terpaut Tiga tahun dariku, tapi dia sudah berkerja dan memiliki penghasilan yang mapan. Akupun banyak berkenalan dengan teman sekantornya, dan diapun sempat menjodohkan aku dengan teman sekantornya , Kgs. Ibrohim namanya. Aku memanggilnya Kak Boim. Aku dan Kak Boim sempat berpacaran selama tiga bulan, semua keluh kesahku selalu aku bagi dengan Kak pani.
Ada lagi, Ryan orang berdarah Padang, diapun mendekatiku melalui Kak Pani, Ryan teman sekantor Kak Pani. Lagi-lagi Kak Panilah yang menjadi jembatannya. Hampir enam bulan aku menjalin hubungan dengannya, tapi lagi dan lagi-lagi gagal. Dua tahun aku dekat dan mengenal Kak Pani tak pernah aku berfikiran bahwa dia sebenarnya mendekatiku untuk mengenalku lebih jauh.
Darinyalah aku belajar tentang Agama, dia pulalah yang mengarahkan aku untuk mengenakan jilbab yang aku kekanakan sekarang. Hal yang tak pernah aku sukai selama ini lambat laun dia kenalkan padaku. Tiap kali aku butuh bantuan dia akan siap membantuku. Sosok seorang kakak yang tak pernahku miliki ada padanya.
Waktu itu sebulan sebelum aku pergi meninggalkan kotaku untuk pergi menuntut ilmu ke jenjang perguruan tinggi, dia datang ke rumahku. Seperti biasa, Mamapun menyambutnya dengan ramah dan senang. Seperti biasanya, dia datang dengan mengenakan baju andalannya, atasan busana kokoh dan celana bahan.
“Tumben Kak gak malam libur tapi maen kesini?” tanyaku malam itu di teras rumahku.
“Iya La, sebenarnya dari kemaren pingin kesini tapi sibuk mulu. Oh ya, kapan Kamu mulai masuk kuliah?” Tanyanya tanpa menatap kearahku.
“Mmm….Bulan depan ko Ela masuk nya, kenapa gitu? ya ampun, tenang aja Kak… kalo libur pasti pulang ko.. Insyaallah”
“Oh ya bentar ya..” Kak Pani pergi ke arah tempat motornya diparkir, dan datang lagi dengan paperbag ditangannya, “Nih buat kamu”.
“Buat Ela? Apa kak? Boleh langsung dibuka nih?”, tanyaku sambil mengambil paperbag itu darinya. Aku melihat kearahnya dan dia mengangguk tanda setuju. Aku pun membukanya, isinya ternyata sebuah jilbab warna ungu dengan mute-mute kecil di leher dan bermotif polos itu.
“Kamu pasti cantik kalo pake itu” ujarnya, seraya tersenyum pasti.
Akupun mencoba kerudung itu di depannya dan berlaga menggenakakannya sambil bergaya, dan kamipun tertawa.
“Iya kak Insyaallah..makasih Kak”.
“La…” panggilnya sambil menunduk, sedang aku hanya sibuk melipat jilbab itu kembali.
“Iya, apa?”
“Kamu mau gak jadi calon istriku?” Tanyanya tetap sambil menunduk.
Pertanyaan yang tak pernah kudengar selama ini mampu membuatku terhenyak dan kaget tak percaya.
“Calon istri??? Kakak gak salah?” tanyaku tak percaya sambil menatapnya, namun dia tetap menunduk.
“Iya..” jawabnya sambil menatapku dengan pasti. Tak ada main-main dalam ucapannya, dan aku tahu itu. Dua tahun aku mengenalnya, dan dia bukan tipe orang yang suka bercanda.
“Tapi kak.. kakak udah Ela anggap seperti abang Ela sendiri??”
“Iya Aku tau, tapi apa Aku salah? Kalo ternyata rasa itu beda????” tanya nya pelan. “Dua tahun dik Kakak dekat dengan kamu, dua tahun pula aku mencoba mengenal karaktermu”
“Tapi kenapa Kakak malah berusaha mengenalkan aku dengan teman-teman Kakak? Bahkan berusaha menjodohkan?”
“Iya! Dan itulah bodohnya aku! Aku gak berani untuk meyakinkan diri Kakak kalo sebenarnya Kakak ingin kamu lebih dari sekedar adik. Tapi aku sadar siapa aku?? Ya.. Aku yang hanya seorang anak tukang sayur, sadar tak pantas berharap lebih ke kamu..” Kak Pani tetap menunduk.
“Ya Allah kak..” Aku sudah ingin saja menangis mendengar semua itu. ”Tapi Kakak seharus nya bangga sama mereka, ibu dan ayah Kakak sudah berhasil mendidik anak sampai akhirnya seperti ini. Kakak gak bangga dengan seragam yang kakak kenakan? Kak.. ibu dan ayah kakak banting tulang untuk menjadikan kakak seorang anggota Bintara Polisi seperti ini.”
“Iya aku bangga Dik, tapi itu tak cukup untuk membuat Kakak berani menaruh harapan lebih.” Kak pani menatapku, ada kejujuran dimatanya, ada linangan air mata disana. “Aku beranikan diri La untuk bilang semua ini, aku bermunajat pada Allah memohon keyakinan, dan aku mau kamu jadi calon istriku La”. Pinta nya dengan tulus.
“Tapi kak, Ela harus kuliah..dan gak mungkin menikah sekarang..”
“Gak La, kamu bebas mengejar mimpimu, kamu bebas berkarier. Aku akan tunggu kamu”.
“ya Allah kak…kakak yakin??” tanya ku meyakinkan diriku.
Setelah malam itu, aku dan Kak Pani resmi menjalin hubungan dan dengan tujuan istoqomah pada Allah.. awalnya mama tidak mengetahui hal ini, tapi lama kelamaan ia mulai curiga. Apalagi dua minggu setelah malam itu, Kak pani memberiku cincin yang terbuat dari emas putih bercampur titanium yang berukirkan namaku. Kecurigaan mama dan papapun makin bertambah. Jika selama ini orang tuaku bersikap teramat ramah dengan Kak Pani sekarang mulai berubah, tapi kami belum membicarakan ini bersama.
Aku pun pergi ke kota dengan julukan kota seribu angkotnya. Menyelesaikan tugasku sebagai seorang anak dan seorang pelajar. Satu semester aku tidak pulang dan tidak bertemu dengan Kak Pani, hanya komuniaksi by phone dan internet yang kami jalani. Dan ketika aku pulangpun Kak Pani lah yang menjemputku di bandara. Sumpah demi tuhan, aku tak pernah mendapatkan seorang pacar yang teramat sempurna sepertinya, agama yang bagus, akhlak yang mulia dan kehidupan duniawipun bagus. Dia seperti sosok seorang sahabat, Kakak dan pacar yang terbungkus apik dalam seorang anak adam bernama Ahmad Holpani. Saat aku butuh teman curhat, Dia bisa menempatkan dirinya sebagai seorang teman yang baik, saat aku butuh perlindungan dan nasihat dia pun bisa menjadi sosok seorang kakak dan saat aku butuh dimanja dia bisa manjadi sosok seorang pacar sekaligus calon suami.
Tapi sayang, kisah sedihpun dimulai. Saat kita berharap semua baik-baik saja selalu saja sang penguasa dunia berkehendak lain. Mamapun akhirnya mengetahui semua ini, dan ia benar-benar marah. Ntah apa yang ada dalam pikiran keluargaku.
Malam itu, rumah seperti di neraka, baru kali ini mama dan papa benar-benar marah padaku mengenai seorang teman pria.
“Mama, gak suka kamu berpacaran dengan Pani” tiba-tiba kalimat itu pun meluncur ketus dari mulut mama.
“Kenapa Ma?” Tanyaku tak percaya “Bukankah Mama selama ini suka dengan nya?”
“Kamu mikir dong kak.. Dia itu siapa??? Umur nya berapa??”
“Ada masalah apa dengan semua itu Ma?”, Tanyaku tetap hormat pada mama, Papa dan Adikku hanya bisa diam mendengarkan.
“Kamu harus tahu Kak, dalam keluarga besar Mama Kita gak pernah punya pasangan satu daerah yang gak punya marga!”, Jawab mama dengan nada meninggi.
“Marga Ma?? Ma, sekarang bukan jaman dulu yang kolot..” Jawabku perih dengan mata yang mulai basah.
“Iya Mama tau itu, tapi dalam keluarga besar kita itu harus! Apa lagi kamu itu perempuan. Hanya ada dua pilihan, Kamu cari orang yang bukan satu daerah atau Kamu cari orang satu daerah tapi Dia harus punya marga!!“
“Ya Allah Ma, jadi gara-gara itu???” Tanyaku tak percaya.
“Dan kamu juga harus hati-hati, orang yang sudah kerja dan mapan itu mau cari calon istri, kamu itu masih muda… masa depan Kamu masih panjang! Orang yang sudah kerja itu gak pingin main-main lagi”.
“Ma.. Kakak memang serius sama Kak Pani, tapi Kami punya komitmen Ma.. Kami gak akan nikah sebelum Kakak selesain kuliah dan kerja dulu”. Jawabku sambil berlinangan air mata. Dan mamapun hanya bisa diam mendengarnya.
“Alah… jangan mudah percaya Kak! Lelaki itu banyak bohong dan merayu nya!”, Mama diam sejenak dan melanjutkan kemarahannya dengan sedikit lebih bijak, “Mama harap, kamu bisa lebih berfikir dewasa Kak”.
“Tenang aja Ma, gaji pertama Kakak pasti bakal Kakak kasih buat Mama..itu janji Kakak pada diri Ela sendiri”. Akupun masuk ke kamar dengan luka yang aku terima.
Setelah kejadian itu, sikap Mama dan Papa benar-benar berubah. Tak seramah dulu terhadap Kak Pani. Pada akhirnya, dua tahun aku bertahan dengan ke istiqomahan kami dengan dukungan orang-orang yang berada dipihak kami.
Namun pada akhirnya, akupun lemah dan rapuh dengan semua ini. Kekekeuhanku mempertahan apa yang aku anggap benar dan kuyakini harus aku korbankan demi restu orangtuaku. Anak mana yang tak luluh dan merasa berdosa bila selalu disindir dan dicekam untuk mengalah.
“Sudah lah Kak.. kayak nggak ada cowok lain aja di sana”, Ujar mama waktu itu.
“Buka mata kak, buka hati.. kamu masih muda.. pasti bisa dapetin orang sana”, Papa pun menimpali dan ikut menyadarkan ku.
Dengan berat hati dan rasa kecewa yang teramat dalam terhadap keluargaku, Aku mengalah demi mereka. Atau mungkin tepatnya aku terlalu lemah dan rapuh untuk tetap bisa bertahan pada pendirianku. Mungkin juga aku terlalu takut dengan apa yang akan terjadi esok atau lusa, seperti layaknya apa yang sering Aku lihat di banyak contoh realita kehidupan.
Dua tahun lebih aku berhasil mempertahankan semua ini, dan akhirnya akupun tahu, mengapa dulu mama memaksa aku untuk tidak kuliah di kota ku sendiri. Ya, itu semua demi obsesinya agar aku mendapatkan pasangan bukan sedaerah denganku.
Tanpa rasa ikhlas sedikitpun, Kak Pani akhirnya melepaskan ku dengan beribu kenangan yang ada.
“Aku benar-benar kecewa dengan kamu La.. Seharusnya Kamu percaya Allah ada di pihak kita”.
“Maaf kak, maaf.. maaf… Ela ternyata tak sekuat yang ada.. Ela nggak mau ngecewaain Mama..”
“La.. ayolah.. Kita tunggu sampai 5 tahun kedepan.” Pinta Kak pani mengiba kepadaku dengan mata yang berkaca-kaca.
“Maaf kak, maaf.. Ela nggak bisa”, Aku hanya bisa menunduk tanpa berani menatapnya.
Yah… semua harus hancur hanya karena perbedaan marga itu.. zaman yang telah teramat maju masih harus terbelenggu dengan kekolotan adat istiadat. Entah siapa yang salah, orang-orang terdahulu yang teralu kolot apa anak muda sekarang yang tak bisa mempertahankan adat istiadat itu. Namun apapun itu, ingatlah restu Tuhan adalah restu orangtua. Dan percayalah semua akan indah pada waktunya, Tuhan pasti telah menyiapkan kisah indah yang terbaik untuk setiap manusia. Serta pahamilah bahwa cinta yang benar itu hanyalah cinta kita untuk Tuhan dan orangtua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar